Behaviorisme
adalah pandangan yang menyatakan bahwa perilaku harus dijelaskan melalui
pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Menurut kaum
behavioris, perilaku adalah segala sesuatu yang kita lakukan dan bisa dilihat
secara langsung. Misalanya, anak membuat poster, guru tersenyum terhadap anak,
siswa mengganggu siswa lain, dan sebagainya.
Menurut
pandangan
ini, pemikiran, perasaan, dan motif itu bukan subjek yang tepat
untuk ilmu perilaku sebab semuanya tidak bisa diobservasi secara langsung. Ada
dua teori yang ditawarkan untuk menjelaskan proses di mana seseorang memperoleh
pola perilaku, yaitu teori pengkondisian klasik dan pengkondisian operan. Kedua
pandangan ini menekan pembelajaran asosiatif, yang teridiri dari pembelajaran
bahwa dua pembelajaran (asosiatif). Misalnya pembelajaran
asosiatif terjadi ketika siswa mengasosiasikan atau mengaitkan kejadian
menyenangkan dengan pembelajarans sesuatu di sekolah, seperti guru tersenyum
saat murid mengajukan pertanyaan bagus.
Pandangan ini sering sebut dengan
teori stimulus-tanggapan. Jika seseorang
memberi tanggapan dengan cara yang dapat diramalkan terhadap
stimulus yang dikenal, maka dikatakan telah “belajar”. Teori perilaku tidak
begitu banyak hubungannya dengan proses pembelajaran seperti halnya pada
masukan dan hasil pembelajaran, yaitu pada stimuli yang dipilih para
konsumen dari lingkungan dari perilaku yang nyata yang dihasilkan. Dua teori
perilaku yang banyak mempunyai hubungan dengan pemasaran adalah pengkondisian
klasik dan pengkondisian instrumental .
a.
Classical
conditioning
kondisi terjadi ketika
stimulus yang memunculkan respon , bila dipasangkan dengan stimulus lain yang
pada awalnya tidak mendapatkan respon sendiri. Seiring waktu, stimulus kedua
(stimulus lain) ini menyebabkan respon yang sama karena kita mengasosiasikannya
dengan stimulus pertama. Dengan maksud, kata pengkondisian disini berarti
response yang berarti adanya situasi yang selalu dipaparkan secara
berulang-ulang.
b.
Instrumental
conditioning
dikenal sebagai konsep
operant , kondisi yang terjadi pada individu yang belajar untuk menghasilkan
perilaku yang positif dan menghindari orang-orang yang menghasilkan hasil
negatif.
2.
Social Cognitive Theory
Albert Bandura sangat terkenal
dengan teori pembelajaran social ( Social Learning Teory ) salah satu
konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari
pikiran, pemahaman dan evaluasi. Ia seorang psikologi yang terkenal dengan
teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri. Eksperimen yang
sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru
seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Teori kognitif sosial (social
cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa
faktor sosial dan kognitif serta factor pelaku memainkan peran penting dalam
pembelajaran.Faktor kognitif berupa ekspektasi/ penerimaan siswa untuk meraih
keberhasilan, factor social mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orang
tuanya.Albert Bandura merupakan salah satu peracang teori kognitif
social.Meourut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat merepresentasikan atau
mentrasformasi pengalaman mereka secara kognitif.Bandura mengembangkan model deterministic
resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku, person/kognitif
dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran.
Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan,
faktor person/kognitif mempengaruhi perilaku.Faktor person Bandura tak punya
kecenderungan kognitif terutama pembawaan personalitas dan temperamen.Faktor
kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Penekanan dari
teori kognitif sosial tadi yakni unsur modeling. Jadi pengamatan menjadi hal
yang utama sebagai cara untuk mencari contoh atau sesuatu yang bisa
digunakannya untuk inspirasi bagi dirinya yang kemudian dia pahami dan bisa
ditiru sehingga memunculkan perilaku seperti yang diharapkan.
Dalam penerapannya di dunia
pendidikan diaplikasikan dalam self modeling bagi siswa atau anak yang
mengalami kesulitan belajar dalam berbagai hal, apakah itu keterampilan ataupun
kemampuan yang berhubungan dengan pembelajaran di sekolah.Dalam pendidikan
olahraga ada yang dikenal dengan video self modeling, dimana siswa belajar dengan
melihat rekaman diri sendiri yang berhasil dalam melakukan sebuah keterampilan.
Dengan video self modeling ini self
efficacy anak juga akan meningkat
3.
Cognitive
Information Processing
Robert
Gagne merupakan salah satu tokoh pencetus teori ini. Teori ini memandang bahwa
belajar adalah proses memperoleh informasi, mengolah informasi, menyimpan
informasi, serta mengingat kembali informasi yang dikontrol oleh otak. Asumsi
yang mendasari teori pemrosesan informasi Robert M Gagne adalah bahwa
pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa
dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan
kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang
terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne
tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu,
a. Motivasi
b. pemahaman
c. pemerolehan
d. penyimpanan
e. ingatan
kembali
f. generalisasi
g. perlakuan
h. umpan
balik.
4. Meaningful Learning Theory
Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik
disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu
sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur
kognifitif yang dimilikinya. Sehingga
peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfe belajarnya mudah dicapai. Struktur kognitif dapat berupafakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang
telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan
kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua
menyangkut bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur
kognitif yang telah ada.Jika siswa hanya mencoba menghafalkan informasi baru
itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar
dengan hafalan.Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi
baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.Menurut Ausubel belajar dapat dibagi menjadi 4 tipe
, yaitu
a.
Belajar dengan
penemuan yang bermakna
Informasi
yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik.Peserta didik itu
kemudian menghubungkan pngetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang
dimiliki.Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat- sifat suatu bujur
sangkar.Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat
persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifat- sifat bujur
sangkar tersebut.
b.
Belajar dengan
penemuan tidak bermakna
Informasi
yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia
menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat- sifat bujur sangkar
tanpa bekal pengetahuan sifat- sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat
dengan sifat- siafatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka.Dengan alat- alat
ini diketemukan sifat- sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.
c.
Belajar menerima
yang bermakna
Informasi yang
telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk final/
akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan
struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari
akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan- bahan yang akan
diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi
persamaan kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep
persamaan yang sudah dimiliki peserta didik.Karena pengertian persamaan lebih
inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat
dipelajari peserta didik secara bermakna.
d.
Belajar menerima
yang tidak bermakna
Dari setiap tipe
bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam ben tuk final.Peserta didik
tersebut kemudian menghafalkannya.Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan
pengetahuan yang dimiliki peserta didik.
5.
Developmental
Approach
Menurut Piaget, perkembangan kognitif
mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan
syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan
dunianya; 3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam
hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaitu
adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia selalu
mempau mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua
faktor, yaitu skema dan adaptasi. Skema berhubungan dengan pola tingkah laku
yang teratur yang diperhatikan oleh organisma yang merupakan akumulasi dari
tingkah laku yang sederhana hingga yang kompleks. Sedangkan adaptasi adalah
fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang terdiri atas proses asimilasi dan
akomodasi.Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak
yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu :
a.
Periode sensori-motor ( 0 – 2 tahun )
Pada periode ini tingksh
laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system penginderaan untuk
mengenal lingkungannya untu mengenal obyek.
b.
Periode pra-operasional (2 – 7 tahun )
Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu
sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku dan mampu
melakukan simbolisasi.
c.
Periode operasional konkret ( 7 – 11 tahun )
Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan
operasi.Pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi, sebab anak mampu
memecahkan masalah secara logis.
d.
Periode opersional formal ( 11– dewasa )
Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak
perkembangan struktur kognitif, anak remaja mampu berpikir logis untuk semua
jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat menggunakan penalaran
ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.
Menurut
Piaget (Hudojo, 1979:82), struktur kognitif terbentuk karena proses asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah menyaring atau
mendapatkan pengalaman – pengalaman baru ke dalam skema.Misalnya seorang anak
mempunyai konsap mengenai “lembu”.Dalam pemikiran anak itu, ada skema
“lembu”.Mungkin skema anak itu menyatakan bahwa lembu itu binatang yang berkaki
empat.Berwarna putih dan makan rumput.Dimana pengertian Skema yaitu
struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan
lingkungannya.Akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali
pengalaman –pengalaman baru dengan jalan mengadakan modifikasi skema yang ada
atau bahkan membentuk pengalaman yang benar – benar baru.
6. Representation and Discovery Learning
Teori kognitif berfokus pada kemampuan pikiran untuk
memahami dunia. Berpikir, keyakinan,
harapan, dan perasaan mempengaruhi apa dan bagaimana kita belajar.Kognitif
melihat pengetahuan sebagai hasil pembelajaran dan kekuatan pengetahuan sebagai
motivator pada pembelajaran orang dewasa.
Teori belajar yang dipopulerkan Bruner disebut discovery
learning.Batasan pengertian discovery learning disebutkan oleh
Lefrancois (2000: 209), “discovery learning can be defined as the learning
that takes place whwn student are not presented with subject matter in its
final form but rather are required to organize it themselves”. Kondisi
siswa dalam pengertian belajardiscovery tidak pasif menerima
keterangan materi dalam bentuk final dari guru, melainkan cenderung menyusun
materi sebagaimana yang siswa pahami.Bruner (Tomei, 2010: 27) mengemukakan
bahwa dalam proses belajar anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan
mental, yaitu:
a. Tahap Enaktif
Pada tahap ini, anak
secara langsung terlihat menggunakan atau memanipulasi (mengotak-atik)
objek-objek konkret secara langsung.
b. Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan
anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek
konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti
pada enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari
objek-objek yang dimaksud.
c. Tahap Simbolik
Tahap ini merupakan
tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya
dengan objek-objek. Pada saat belajar anak belajar lebih mudah dari suatu
gerak ataupun proses penginderaan pada objek, selanjutnya berkembang belajar
melalui media visual seperti gambar, grafik, peta, foto, dan sebagainya. Pada
tahapan berikutnya, seorang anak memiliki kemampuan menerima informasi melalui
kata-kata verbal.
7.
Social Approach
Teori pembelajaran sosial ini adalah perkembangan utama
dari tradisi teori pembelajaran prilaku (Behaviorisme). Berbeda dengan penganut Behaviorisme, Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan
pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan
sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial ini. Misalnya seorang yang hidup dan lingkungannya
dibesarkan dilingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau
sekitarnya menganggap bahwa judi itu tidak jelek.Prinsip dasar belajar menurut teori
ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral
terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir
dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.Bandura sebagai
seorang behavioris moderat penemu teori social
learning/ observational learning,
setiap proses belajar terjadi dalam urutan tahapan peristiwa (4 unsur utama)
dan berakhir dengan
penampilan atau kinerja (performance) tertentu sebagai hasil/ perolehan belajar
seorang siswa. yang meliputi:
a.
Fase Perhatian
(attentian)
Memberikan
perhatian pada orang yang ditiru. Sebagai pengamat orang tidak dapat belajar
melalui observasi kecuali kaku ia memperhatikan kegiatan-kegiatan yang
diperagakan oleh model itu sendiri dan benar-benar memahaminya.Mencakup
peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan,
kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamatan (kemampuan indera, minat,
persepsi, penguatan sebelumnya).
b.
Fase Pengingat (retention)
Seorang
pengamat harus dapat mengingat apa yang yang telah dilihatnya. Dia harus
mengubah informasi yang diamatinya menjadi bentuk gambaran mental, atau
mengubah simbol-simbol verbal, dan kemudian menyimpan dalam ingatannya.Mencakup kode
pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan simbol, pengulangan
motorik.
c.
Reproduksi motorik (reproduction)
Yaitu
proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau ingatan menjadi tindakan.
Mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
d.
Peneguhan/Motivasi (reinforcement/motivation)
Mencakup
dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri
8. Constructivist
Approach
Teori
konstruktivisme menyatakan bahwa murid membina makna tentang dunia dengan
mensintesis pengalaman baru kepada apa yang mereka telah fahami sebelum ini.
Mereka membentuk peraturan melalui refleksi tentang interaksi mereka dengan
objek dan ide. Apabila mereka bertemu dengan objek, ide atau perkaitan yang
tidak bermakna kepada mereka, maka mereka akan sama ada menginterpretasi apa
yang mereka lihat supaya secocok dengan peraturan yang mereka telah bentuk atau
mereka akan menyesuaikan peraturan mereka agar dapat menerangkan maklumat baru
ini dengan lebih baik.
Konstruktivis melihat belajar sebagai proses
aktif pelajar mengkonstruksi arti baik dalam bentuk teks, dialog, pengalaman
fisis, ataupun bentuk lainnya. Von Glasersfeld menyatakan bahwa dalam
perspektif konstruktivis, belajar bukan suatu perwujudan hubungan
stimulus-respons.Belajar memerlukan pengaturan diridan pembentukan struktur
konseptual melalui refleksi dan abstraksi.7 Fosnot menambahkan, tujuan belajar
lebih difokuskan pada pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam daripada
sekedar pembentukan perilaku atau keterampilan.
9. Technological
Approach
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berkembang sangat pesat
dan dahsyat saat ini.Segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses
dan mengirimkan informasi dalam bentuk elektronik, perangkat lunak pemroses
transaksi, perangkat lunak lembar kerja (worksheet), dan peralatan
komunikasi dan jaringan merupakan sebagian contoh teknologi ini.TIK dapat
diintegrasikan atau diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya pendidikan,
pertahanan, kesehatan, perdagangan, dan lain sebagainya.
Integrasi TIK dalam dunia pendidikan salah satunya yaitu integrasi
dalam proses pembelajaran di sekolah.Integrasi TIK dalam pembelajaran adalah
peluang sekaligus tantangan yang besar. Sederhananya, menurut Gaible dan Burns
(2005), integrasi teknologi mengacu pada penggunaan komputer dan internet untuk
mendukung proses pembelajaran. Pengintegrasian TIK digunakan dengan tujuan yang
terkait dengan pencapaian kompetensi tertentu dalam pembelajaran.TIK digunakan
sebagai alat pembelajaran dan pembelajaran berlangsung melalui penggunaannya
(Gaible & Burns, 2005).
Penggunaan TIK secara strategis dinilai akan mampu meningkatkan
proses dan hasil pembelajaran. Agar
proses itu berlangsung dengan efektif, teknologi tersebut perlu didukung dengan
pendekatan pedagogis yang inovatif, sehingga memungkinkan terwujudnya
kolaborasi, komunikasi, dan mobilitas dinamis dan bermakna (Webster &
Murphy, 2008). Penggunaan TIK yang tepat juga akan memacu kreativitas,
memperluas kebebasan, dan memungkinkan fleksibilitas bagi guru dan siswa,
tetapi, yang lebih penting lagi, juga merubah beberapa dimensi proses belajar
mengajar.
10. Social Formation Theory
Teori
yang pertama kali dikembangkan tentang teori ini adalah tahun 1920 yang dikenal
dengan teori aktivitas.Teori ini berbunyai bahwa ketika individu berinteraksi
dengan lingkungan mereka kemudian mereka menyibukkan diri dengan produksi dan
menggunakan alat-alat untuk mendapatkan hasil. Alat ini exteriorized bentuk
proses mental dan sebagai proses mental ini berubah menjadi alat, mereka
menjadi mudah diakses dan menular pada orang lain. Hasil akhirnya adalah bahwa
dasar interaksi sosial didukung oleh criteria eksternal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar